Judul buku : IKLAN Dan POLITIK Menjaring suara dalam Pemilu
Penulis : Budi setiyono
Penerbit : Galang press
Cetakan : Pertama 2008
Tebal : xvii + 390 halaman
Pemilihan umum tahun 2004 telah menorehkan sejarah baru bagi dunia politik Indonesia. Dimana masyarakat baru pertama kali memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Partai-partai baik yang baru muncul maupun yang sudah lama bertengger di kancah poliik bangsa kita berusaha merebut hati rakyat agar mendapat simpati untuk kemudian memperoleh kemenangan. Buku Iklan dan politik mengurai bagaimana politik bergerak untuk memperoleh dukungan dengan menggunakan media yakni iklan sebagai
jurus yang paling ampuh untuk mensosialisasikan partainya.
Berbeda pada Pemilu tahun 1999, pemilu 2004 lebih banyak partai –partai yang memanfaatkan media masa baik cetak maupun elektronik untuk mensosialisasikan baik partai, calon legislaif ataupun calon presiden dan program-programnya tentunya kepada masyarakat Indonesia demi mendapatkan simpatinya. Adalah iklan sebagai ruang publik yang strategis dan paling ampuh untuk menyukseskan itu semua. dalam buku ini diungkap dengan jelas bahwa penggunaan media massa sebagai alat untuk kampanye mengalami peningkatan yang signifikan kalau dalam buku ini menyebutnya sebagai kampanye gaya baru.
Buku ini juga mengurai bagaimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) berusaha mengatur proses iklan. Bersama beberapa lembaga penyiaran, KPU telah memberlakukan peraturan kampanye yaitu dengan dikeluarkannya surat keputusan Bersama(SKB). SKB ini mengatur standar isi 4 pesan kampanye yaitu: Informasi, pendidikan, dan iklan. Peserta Pemilu hanya boleh membiayai siaran iklan , sementara untuk siaran kampanye lain tidak boleh ada kerjasama Blocking time atau blocking segment untuk menjaaga independensi lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran juga dilarang menerima program sponsor ( sponsor program ) dalam format atau segment apapun sebagai siaran kampanye pemilu di media penyiaran. Pembatasan aturan iklan diatur dalam pasal 20. Batas mksimum pemasangan iklan ditelevisi untuk kampanye setiap peserta pemilu secara kumulatif adalah 10 ( sepuluh ) spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televise/hari/selama masa kampanye, sedangkan radio maksimum spot berdurasi paling lama 60 detik untuk setiap stasiun radio/setiap hari/selama kampanye. Selain itu lembaga penyiaran wajib menyediakan siaran gratis satu kali selama masa kampanye pemilu bagi partai politik berdurasi 5 menit. Lembaga penyiaran juga wajib menyiarkan iklan layanan masyarakat (ILM) non partisan sekali dalam sehari berdurasi 60 detik secara cuma-cuma. Untuk pengawasannya ada keputusan bersama panwaslu dengan KPI no. 04/PANWASLU/KS/III/2004 dan No.003/SK KPI/II/04 tentang penanganan Laporan pelanggaran siaran kampanye pemiludan kampanye peserta Pemilu pada lembaga penyiaran yang ditetapkan 9 maret 2004. Selain mekanisme pelanggaran, diatur pula pemberian sanksi baik administratif atau pidana. Namun bagaimanapun juga aturan tetap aturan yang memungkinkan adanya garis abu-abu yang kemudian dimanfaatkan oleh parpol dalam berkampanye.
Yang yang mengejutkan dari buku ini adalah tentang belanja iklan kampanye nasional yang mengalami peningkatan yang signifikan. Hasil riset Nielsen Media research (NMR) Periode Maret 2004 menunjukkan total belanja iklan politik mencapai 166,9 milyar. Rinciannya, belanja iklan sosialisasi pemilu 54,3 milyar, partai politik 112,2 milyar dan kandidat politik Rp 455 juta. Untuk partai politik PDI-P tercatat paling banyak mengeluarkan dana kampanye periklanan yakni sebesar Rp 69,2 milyar, diikuti partai golkar sebesar Rp 56,7 Milyar, PAN sebesar Rp 16,9 milyar, PKB sebesar 15,7 milyar, PPP sebesar Rp 14,8 milyar, PKPB sebesar Rp 12,3 milyar, PKS sebesar Rp 10,5 milyar serta partai democrat sebesar Rp 9,5 milyar. Dan yang selebihnya adalah partai-partai baru. Angka-angka tersebut belum termasuk pembelian atribut (Kaos), bendera, topi, rompi dan sebagainya) serta pemberian uang untuk memobilisasi masa. Menurut ICW dan TI Indonesia komponen biaya untuk memobilisasi masa mencapai 40% dari total biaya kampanye luar ruang. ICW dan TI-Indonesia tidak menghitung biaya pemasangan iklan media luar ruangan yang padahal nilainya tak kalah besar.
Perhelatan politik pada masa pemilu 2004 berimbas juga kepada para pengusaha periklanan dan penyiaran. Hal ini pun tak lupa oleh budi setiyono untuk membahas dalam buku ini dengan gamblang, beberapa media masa pun digendeng untuk ikut mensosialisasikan Pemilu dan partai politik, salah satu contohnya adalah iklan di media masa khususnya televisi, masih dari data NMR dalam buku ini dicantumkan total belanja media untuk Pemilu 2004 periode maret -dalam hal ini iklan- sebesar 75,434 milyar lebih. Yang menduduki peringkat pertama adalah SCTV, stasiun televise ini memperoleh pemasukkan sebesar 10 milyar lebih, disusul RCTI, TVRI, Indosiar, metro TV dan beberapa stasiun televise lainnya.
Yang menambah daya tarik pembaca dalam menilai buku ini adalah ditambahnya visualisasi terkait strategi iklan yang dilakukan partai politik dan ajakan-ajakan parpol untuk menarik perhatian masyarakat dengan berbagai macam pendekatan, ada yang menampilkan tokoh-tokoh terkenal, aktualisasi program, janji-janji dan sebagainya. Seperti yang dicontohkan dalam buku ini adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan slogannya yang berbunyi Bersih dan Peduli selalu dalam penayangan Iklannya menampilkan kegiatan-kegiatan membantu korban bencana alam, atau Partai Karya Peduli Bangsa ( PKPB ) yang selalu menampilkan sosok Soeharto dengan kinerjanya karena sang ketua umum adalah putri dari soeharto. Yakni yang lebih kita kenal dengan mbak Tutut. Dan lain sebagainya.
Untuk pemilihan presiden biaya kampanye dari masing pasangan, pasangan Mega-Hasyim mengeluarkan dana paling banyak Rp 202 miliar, ddisusul SBY-JK menghabiskan 143,36 miliar. Kemudian yang jadi pertanyaan kenapa pada pilpres putaran pertama malah justru pasangan SBY-JK menduduki peringkat pertama yakni 33,37%, disusul pasangan Mega-Hasyim 26,61% . dalam buku ini menjelaskan bahwa persoalan yang mendasar ada pada iklan yang ditampilkan di televise, dimana iklan yang dibawakan pasangan mega-hasyim secara eksplisit dan dramatis malah mendimetralkan megawati ( symbol harapan) dan pemerintaha masa lalu ( symbol keterpurukan yang hal ini menyebabkan persepsi yang buruk pada masyarakat. Sedang pasangan SBY – JK menurut sugiarto,peneliti soegeng sarjadi syndicated. Menjelaskan, banyaknya iklan-SBY-JK di media masa yang bersifat homofili, baik iklan yang jujur tampil sebagai dirinya sendiri maupun iklan terselubung yang dibungkus format acara televise sangat efektif untuk menciptakan kebersamaan, seolah ada kesatuan antara kepribadian audience dan pasangan SBY-JK, tidak ada lagi perbedaan partai,aliran,suku bangsa, dan atribut-atribut kepribadiannya.
Selanjutnya kita dibawa pada ketentuan dimana pilpres 2004 dimenangkan oleh pasangan SBY-JK. Lagi-lagi banyak kalangan yang menganggap kemenangan ini adalah karena iklan. Termasuk joko santoso yang dalam buku ini ditulis bahwa jika sebagai pemimpin, harus membuat kebijakan, ia harus mampu mlakukan empaty bagaimana rakyat bisa menerima kebijakan itu. “Andai saja para pemimpin kita dibekali dengan ketajaman dan kepekaan orang iklan…,”begitulah pesan dari mas joko. Dengan kata lain iklan memberikan dampak yang besar bagi dunia politik Indonesia.
Dalam bagian akhir budi setiyono mengungkapkan bahwa “iklan politik masih belum berakhir dan akan terus berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Warga dibeberapa daerah akan menyaksikan pemilihan daerah secara langsung. Sebagian daerah sudah melakukannya, bisa dipastikan belanja iklan politik masih akan tetap mengucur meski dengan kuantias yang jauh lebih sedikit. Departemen dalam negeri sendiri sudah menganggarkan dana sekitar 800 milyar untuk keperluan itu. Penerima dana iklan politik itu tentunya sebagian besar adalah media dimasing-masing daerah. Perusahaan periklanan dan jasa kehumasan daerah mungkin bisa menikmati kue iklan politik juga, meski diperkirakan politik uang akan lebih dominan ketimbang pembentukkan citra iklan”. Tentu kita semua tau tentang apa yang terjadi pada pilkada-pilkada dibeberapa daerah dan pemilu 2009 kemarin penayangan iklan malah meningkat tajam, bisa dilihat salah satu contoh iklan politik yang ditayangkan Metro TV pada waktu-waktu pagi menjelang siang itu. Iklan SBY-Boediyono lebih mendominasi. Bahkan seperti sudah menjadi program acara. Dalam pilkada pun demikian khususnya dtitingkat provinsi penayangan iklan justru malah sampai pada ranah nasional dengan melalui stasiun televise nasional. Dan itu bukan persoalan benar atau salah tetapi lebih kepada meningkatnya pemanfaatan media sebagai alat untuk berkampanye khususnya media televise.
Membaca buku iklan dan politik seperti dibawa pada perhelatan politik dan iklan pada masa itu sehingga kemudian lahirlah persepsi bahwa masyarakat seperti dijadikan obyek bidik para elit politik untuk kepentingan mereka saja melalui iklan, iklan seperti menjadi senjata paling pamungkas untuk membodohi masyarakat agar mau memilih partai mereka. Dan yang sangat disayangkan sekali buku ini terbit setelah pemilu 2004 usai yang akhirnya buku ini hanya semacam catatan perjalanan atas apa yang telah terjadi pada pemilu 2004. Yang seharusnya ini menjadi catatan bagi mereka sebagai politisi untuk senantiasa memahami dan mengamalkan aturan-aturan yang telah disepakati.
0 komentar:
Post a Comment
Komenter Anda